Selasa, 12 April 2011

Penyebaran Candi-Candi Hindu Buddha di Indonesia


Agama Hindu yang berasal dari negeri India dan agama Buddha yang berasal dari negara Nepal, dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang dari negara India dan Cina yang melakukan perjalanan dan perdagangan melalui jalur laut yaitu Selat Malaka. Pada abad 1 Masehi, perdagangan sudah tidak melalui darat lagi [ jalan sutera ] yang dinilai lebih merugikan karena faktor alam, perampok, dsb dan beralih ke perdagangan laut. Pedagang-pedagang tersebut pada saat melakukan perjalanannya, transit di pelabuhan daerah Sumatra untuk beristirahat, bermukim, dan mempersiapkan perbekalan lainnya untuk perjalanan selanjutnya. Pada saat berdiam di daerah transit, terjadilah kontak, pertukaran dan penyebaran agama Hindu dan Buddha [ dimana pada saat itu tidak jelas antara kapan Hindu dan Buddha masuk dan diperkiraan waktunya bersamaan]. Untuk melakukan prosesi keagamaan dari pedagang-pedagang tersebut dibangunlah candi-candi untuk melakukan pemujaan keagamaannya.
Dengan masuknya agama Hindu-Buddha maka tidak begitu saja diadopsi oleh masyarakat Indonesia, namun terjadi alkulturasi budaya. Hal tersebut dapat dilihat dari bahasa yang digunakan di prasasti-prasasti yang ditemukan yaitu bahasa Sansekerta, bahasa Melayu Kuno, huruf Pallawa yang menjadi huruf Jawa Kuno; pada kepercayaan setempat yang sebelumnya mempercayai animisme dan dinamisme menjadi sinkritisme [ perpaduan antara animisme dan dinamisme], dan sistem kemasyarkatan dimana raja dianggap sebagai perwujudan dewa, pemerintahan raja bersifat turun-menurun ke generasi penerusnya dan adanya sistem kasta masyarakat; dalam sistem pengetahuan yaitu penggunaan tahun kalender Saka yaitu tahun dalam kepercayaan Hindu, dan dalam peralatan hidup dan teknologi yaitu dalam pembuatan candi.

Kerajaan-kerajaan dahulu pada masa pemerintahannya, kehidupan ekonominya disokong sesuai keunggulan keadaan alamnya. Jika letak negara tersebut memiliki banyak daerah pesisir atau pantai, maka negara tersebut bergantung pada pedagangan maritim dengan armada-armada perdagangan dan juga sebagai daerah pelabuhan untuk transit dan pemukiman peristirahatan pedagang-pedagang asing. Sedangkan jika negara tersebut berada di daerah pedalaman atau memiliki tanah yang subur maka sektor perekonomiannya berasal dari pertanian (agraris).
Pedagang-pedagang India dan Cina yang berkunjung ke Sumatera dalam rangka berdagang atau beristirahat dan mempersiapkan bekal dan bahan untuk perjalanan selanjutnya, diduga kuat membawa pengaruh agama Hindu dan Buddha ke Indonesia. Jika pengaruh Hindu dibawa oleh pedagang India, maka pengaruh agama Buddha dibawa oleh pedagang Cina. Saat berdagang di daerah transit tidaklah sebentar, kadang-kadang dalam masa persiapan untuk perjalanan selanjutnya memakan waktu hampir 1-6 bulan lebih. Sehingga dalam mengisi waktu senggang tersebut, pedagang-pedagang tersebut melakukan dagang, bermukim, menjalin relasi dengan warga sekitar dan kerajaan terdekat, juga ada yang eksplorasi ke daerah-daerah sekitar dan lebih jauh. Seperti contohnya pedagang Cina yang melakukan perjalanan ke daerah Riau, Pekanbaru dimana sampai di sana pedagang-pedagang Cina tersebut membangun candi bercorak Buddha yang disebut candi Muara Takus. Bangunan yang terbuat dari batu bata, dibangun dengan tujuan untuk melakukan upacara keagamaan dan pemujaan kepada dewa Buddha. Tak henti dari itu, pedagang China tersebut melanjutkan perjalanannya ke arah Selatan dan tibalah ke Jambi dan disana juga dibangun candi bercorak Buddha yang disebut candi Muara Jambi. Setelah selesai membangun candi tersebut, pedagang-pedagang tersebut tidak meneruskan perjalanan ke Selatan lebih jauh melainkan kembali ke tempat mereka berlabuh dan kembali ke negeri asalnya yaitu negeri Cina.  Tak lama dari negeri asalnya, pedagang-pedagang tersebut kembali berlayar untuk melakukan perdagangan namun kali ini tidak lagi melewati Selat Malaka dan transit di pulau Sumatera seperti biasanya melainkan langsung meneruskan perjalanannya ke Jawa Tengah. Sehingga di sini dapat ditegaskan bahwa pedagang-pedagang Cina tersebut masih belum masuk ke area Kerajaan Sriwijaya dalam penyebaran agamanya, dan di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut  [Sumatera Selatan, Jawa Barat ] tidak ada hasil peninggalan candi bercorak agama Buddha. Pedagang Cina ini yang datang ke Jawa Tengah memberi pengaruh lebih lanjut tentang pembangunan candi bercorak agama Buddha di Jawa Tengah dalam masa selanjutnya.
Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa mulai tahun 6 M hingga berabad-abad memerintah dan menguasai perdagangan laut di Indonesia. Daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Sumatera bagian tengah dan selatan juga Jawa Barat. Kerajaan Sriwajaya yang berpusat di kota Palembang memiliki kebudayaan Hindu yang mempengaruhi lapisan masyarakat istananya sedangkan untuk wilayah Jawa Barat berdasarkan konsep-konsep agama Buddha [disebabkan berdekatan dengan Jawa Tengah yang memiliki pengaruh tinggi tentang konsep agama Buddha pada saat itu] . Dengan tidak adanya konsep ‘raja merupakan keturunan dewa’, maka tidak dibutuhkan bangunan-bangunan candi yang megah guna untuk tempat raja-raja keramat itu akan dikubur. Adanya candi pun dibangun oleh pedagang-pedagang Cina yang disetujui oleh perwakilan Kerajaan Sriwijaya untuk membangun candi Muara Takus dan Candi Muara Jambi untuk keperluan berdoa. Perekonomian Kerajaan Sriwijaya yang hampir sebagian besar berasal dari sektor perdagangan maritim, tidak berasalkan pertanian, dan rakyatnya adalah rakyat kota bukan rakyat yang tinggal di pedalaman yang hidup dari pertanian desa. Sehingga rakyat-rakyat dari kerajaan Sriwijaya lebih diarahkan ke untuk membangun perahu-perahu untuk kepentingan berdagang maupun perang. Hasil peninggalan Sriwijaya tergolong sangat sedikit selain prasasti, karena rumah-rumah atau bangunan lainnya pada masa kerajaan tersebut tidak ada yang tersisa karena menggunakan bahan dasar kayu sehingga rusak dan hilang karena faktor alam dan waktu. Sehingga dapat ditegaskan bahwa di daerah kekuasaan wilayahnya [Sumatera Selatan, Jawa Barat, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja ] peninggalan budaya Kerajaan Sriwijaya hanya berupa prasasti batu dan tidak ada berupa candi yang asli karya Kerajaan Sriwijaya.
Daerah Jawa Barat memiliki hasil peninggalan budaya berupa banyak prasasti dan beberapa candi yang merupakan warisan budaya dari Kerajaan Tarumanegara. Candi-candi tersebut berupa Candi Batujaya, Candi Bojongmenje, Candi Cangkuang, dan Candi Cibuaya. Candi-candi ini memiliki corak agama Hindu.
Daerah Kalimantan dan Ternate tidak ada pembangunan candi-candi, namun memiliki bangunan tersendiri untuk memuja raja-rajanya. Untuk wilayah Kalimantan, dahulu ada Kerajaan Kutai yang merupakan kerajaan pertama agama Hindu-Buddha yang ada di Indonesia. Namun dalam masa pemerintahannya, tidak ada pembangunan candi untuk memuja rajanya, namun memiliki Waprakesmara yaitu tempat suci untuk memuja dewa Syiwa, yang kalau di pulau Jawa disebut dengan Baprakeswara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama yang dianut Mulawarman adalah Hindu aliran Syiwa artinya dewa yang dipuja adalah Syiwa. Sedangkan di wilayah Ternate, penyebaran agama Hindu-Buddha belum mencapai pesat ke daerah tersebut dan juga di daerah tersebut banyak dikunjungi oleh negara asing yaitu Portugis dan Spanyol sehingga ada penyebaran agama Katholik dan Kristen pada abad 15 yang penyebarannya hingga ke daerah kepulauan NTT. Juga pernah ada Kerajaan Ternate Maluku yang merupakan kerajaan yang memeluk agama Islam sehingga tidak ada pembangunan candi-candi untuk memuja dewa dan raja-raja terdahulu melainkan banyak didirikan masjid-masjid.
Kerajaan-kerajaan yang memiliki andil pengaruh besar dalam adanya pembangunan candi adalah Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kediri dan yang paling signifikan dan pencetus utama pembuatan candi adalah Kerajaan Mataram Kuno.
            Jawa Tengah merupakan daerah yang menjadi pusat penyebaran agama Hindu – Buddha di Pulau Jawa terutama pada saat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kuno ini yang berlokasi di Jawa Tengah, awalnya dipimpin oleh keluarga Sanjaya namun terdesak oleh keluarga Cailendra yang juga memiliki kekuasaan di sebagian Jawa Tengah. Namun sesuai dengan yang dikatakan di prasasti Kalasan [ tahun 778 M ], kedua keluarga tersebut melakukan kerjasama erat untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta dalam keluarga Cailendra dan dibangunlah candi Kalasan. Keluarga Sanjaya yang memiliki kekuasaan di Jawa Tengah Utara menganut agama Hindu sehingga candi yang berada di Jawa Tengah bagian Utara memiliki corak Hindu, sedangkan untuk bagian Jawa Tengah Selatan dimana keluarga Cailendra menganut agama Buddha, candi-candi peninggalan bercorak agama Buddha. Namun pada pertengahan abad ke-9, kedua keluarga itu tersebut bersatu dengan adanya pernikahan dari Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dan Pramodawardhani yaitu putri dari keluarga Cailendra. Sehingga mulai dari penyatuan keluarga tersebut, keluarga Cailendra yang selanjutnya memegang kekuasaan selama ± 1 abad. Dalam masa pemerintahan ini banyak sekali dibangun candi-candi untuk memuliakan agama Buddha seperti candi Borobudur, dll.
Untuk daerah Jawa Timur adanya candi-candi disebabkan dahulunya adanya Kerajaan Singasari yang memiliki berpusat di kota Singasari, Malang, Jawa Timur. Kerajaan yang kurang lebih memerintah selama 60 tahun untuk daeah Jawa Timur, Sumatera Timur dan Selatan serta Semenanjung Malaya memiliki peninggalan budaya berupa candi-candi yang lokasinya smuanya berada di daerah pusat pemerintahannya yaitu di Jawa Timur. Candi peninggalan Kerajaan Singasari yang terkenal adalah Candi Singasari untuk tempat untuk memuliakan raja Kertanegara yang telah meninggal sebagai penghargaan di candi tersebut sebagai penghargaan dimana di Candi Jawi tersebut sebagai Syiwa Budha, dan di candi Singasari sebagai Bhairawa. Dalam kehidupan budaya, Singosari sangat berkembang karena Singosari banyak meninggalkan bangunan monumental atau budaya lain yang berhubungan dengan agama yaitu seperti candi Kedal, candi Jago, candi Singosari dan patung Joko Dolok yang semuanya berlokasi di Jawa Timur.
Di pulau Bali,  asal mula pembangunan candi disebabkan oleh penduduk-penduduk bekas Kerajaan Majapahit beragama Hindu yang dulunya bermukim di Jawa Timur, namun kekuasaan Majapahit sudah jatuh ke Kerajaan Demak yang beragama Islam,  dan memutuskan migrasi besar-besaran ke pulau Bali. Hal ini disebabkan oleh Kerajaan Demak melakukan penyebaran agama Islam ke seluruh daerah terutama Jawa Timur maka penduduk-penduduk dan pendeta Hindu Kerajaan Majapahit yang tidak ingin melepas agamanya pindah tempat tinggal ke pulau Bali yang dianggap paling aman dan mengembangkan agama Hindu-nya di pulau tersebut hingga kini. Sehingga penduduk-penduduk tersebut melangsungkan kepercayaan dan agamanya di sana dengan membuat candi-candi dan bangunan lainnya untuk melakukan prosesi keagamaannya. 

Candi secara harafiah berasal dari kata salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut yaitu Candika dan juga berasal dari kata ‘Cinandi’ yang bahasa Kawi memiliki arti ‘dikuburkan’. Sehingga dibangunnya candi memiliki hubungan dengan Dewi Maut. Candi sendiri merupakan hasil alkulturasi antara agama Hindu-Buddha dengan kepercayaan rakyat Indonesia setempat yang pada saat itu banyak menganut animisme dan dinamisme
Dalam agama Hindu, candi dibangun untuk memuliakan orang yang telah wafat, khususnya para raja dan orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan di dalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah, melainkan bermacam-macam benda yaitu potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik beserta sesajian yang disebut sebagai ‘pripih’. Pripih tersebut dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah sang raja yang wafat dan bersatu kembali ke dewa penitisnya.
Candi-candi agama Buddha dibangun untuk tujuan sebagai tempat pemujaan dewa belaka. Di dalamnya tidak terdapatkan peti pripih, dan arcanya tidak mewujudkan bentuk raja melainkan dewa Ciwa atau dewa agama Buddha. Abu jenazah raja dan para biksu terkemuka ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Candi-candi yang ada di Indonesia jika dikelompokkan maka menjadi 3 kelompok besar yaitu jenis Jawa Tengah Utara yang bercorak agama Hindu [ memuja Siwa], jenis Jawa Tengah Selatan yang bercorak agama Buddha [ memuja Mahayana ] dan jenis Jawa Timur [ termasuk Bali dan Sumatera Tengah] yang bercorak aliran Tantrayana [ memuja Siwa dan Buddha ].
Ciri-ciri penting candi agama Hindu :
  • Di bagian tengah fondasi terdapat semacam sumur (perigi) tempat untuk menyimpan pripih.
  • Lantai pradaksinapatha tidak terlalu lebar di bagian tepinya tidak ada pagar langkan (vedika).
  • Terdapat 5 relung di dinding luarnya, 1 relung di setiap sisi dinding dan 2 relung kecil di kanan - kiri pintu ( terdapat arca Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, Mahakala, dan Nandiśvara )
  • Jika berupa kompleks bangunan, maka terdiri dari 1 candi induk berhadapan dengan 3 Candi Perwara. Candi perwara tengah berisi arca Nandi.
  • Di bagian tengah bilik utama terdapat Lingga -Yoni, Yoni menutup mulut perigi yang terdapat di lantai bilik dan menembus pondasi.
  • Mercu-mercu atap berupa bentuk candi kecil, puncaknya berbentuk motif ratna.

Ciri-ciri penting candi Buddha :
  • Bangunan candi induk dikelilingi oleh candi perwara di sekitarnya
  • Lantai pradaksinapatha relatif lebar dan di bagian tepinya mempunyai pagar langkan (vedika)
  • Pada bagian tubuh candi terdapat lubang-lubang yang tembus seakan-akan berfungsi sebagai ventilasi, selain terdapat relung-relung di dinding luarnya
  • Mempunyai komponen bangunan berbentuk stupa, terutama di bagian atap.
  • Dilengkapi dengan arca-arca yang bersifat buddha
  • Di ruang candinya, di dinding belakang terdapat “pentas persajian”, untuk meletakkan arca.
  • Tidak mempunyai perigi sebagaimana yang dijumpai pada candi Hindu
Candi-candi yang memiliki corak agama Buddha di Indonesia adalah :
 1.     Candi Borobudur
Peninggalan            : Kerajaan Mataram Kuno, Dinasti Syailendra
Dibangun pada        : Tahun 760 SM
Letak                          : Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Keunikan                  : Candi Budha terbesar di Indonesia, banyak terdapat relief, terdiri dari 3 bagian dasar ( arupadatu, rupadatu & bagian puncak )
  2. Candi Muara Takus 

Lokasi      : Pekanbaru, Riau
Oleh         : Pedagang-pedagang Cina [saat Kerajaan Sriwijaya ]
3.  Candi Muara Jambi  

Lokasi                  : Muaro Jambi, Jambi
Dibangun                        : abad ke 9-10 M
Oleh                     : pedagang Cina [ saat Kerajaan Sriwijaya ]
 4. Candi Plaosan

Lokasi                  :  Kab. Klaten, Surakarta – Solo
Dibangun            :  Abad 9 M      (Th. 824 M)
Kerajaan              :  Raja Rakai Pikatan, Mataram Kuno
Keunikan            :  Terdiri dari 2 kelompok candi ( lor dan kidul ), dikelilingi 116 buah stupa pewara dan 50 candi pewara, dan terdapat 6 buah arca di dalam kamar candi induk
               5. Candi Mendut


            Lokasi            : Kab. Magelang, Jawa Tengah
            Dibangun      : pada abad 9 M
Keunikan      : Ada patung Buddha dari emas

Candi-candi yang memiliki corak agama Hindu di Indonesia adalah :
1. Candi Kalasan 

 Lokasi            : Desa Kalasan,Yogyakarta
 Dibangun      : Akhir abad 8 M ( tahun 778 M )
 Kerajaan           : Raja dari zaman Dinasti Syailendra
 Keunikan          : Tinggi candi 24 m, ada ukiran yang dipahat dan dilapisi getah yang berfungsi sebagai pelindung lumut, dan pondasinya dibangun dengan bentuk Greek Cross 

 2. Candi Prambanan

 Lokasi            : Klaten, Yogyakarta
 Dibangun      :  abad 9 M
 Oleh               :  Raja Balitung Maha Sambu, Dinasti Sanjaya, Kerajaan Mataram Kuno
 Keunikan      : ada 3 candi utama, dan 3 candi kecil di depan masing-masing candi utama.
  
3.Kelompok Candi Dieng
 
Lokasi            :  Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah
 Dibangun      :  akhir abad 8 M
 Keunikan      :  terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yaitu Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca, Kelompok Dwarawati dan yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.

4. Candi Sewu 

 Lokasi           : Kabupaten Prambanan, Jawa Tengah
 Dibangun      :  abad ke 8 M
  Kerajaan        : Raja Rakai Panangkaran, Kerajaan Mataram Kuno
 Keunikan      : 249 buah candi, terdiri atas 1 candi utama, 8 candi pengapit atau candi antara, dan 240 candi perwara.

5. Candi Ngawen 

 Lokasi            : Kab. Magelang, Jawa Tengah
 Dibangun      : Abad 8 M
 Kerajaan        : Mataram Kuno, Dinasti Syailendra
 Keunikan      : Memiliki 5 buah candi, candi ke 2 dan 4 terdapat  patung

 Bentuk-bentuk penataan candi beraneka ragam, ada yang berbentuk candi sebagai candi induk dan candi yang berbentuk lebih kecil-kecil yang disebut sebagai candi perwara. Cara penataan candi-candi tersebut memiliki hubungan erat dengan alam pikiran dan susunan masyarakatnya. Untuk candi-candi yang terletak di bagian Jawa Tengah Selatan memiliki penataan candi induk berdiri di tengah dan candi-candi perwaranya teratur rapih berbaris-baris di sekelilingnya. Sedangkan untuk candi-candi di Jawa Tengah Utara memilliki penataan yang berbeda yaitu gugusan candi-candi masing-masing berdiri sendiri-sendiri.

Dari penataan tersebut dapat mencerminkan kurang lebih sistem pemerintahan yang berlaku pada daerah tersebut. Untuk Jawa Tengah Selatan yang pada saat itu dibawahi oleh keluarga Cailendra memiliki pemerintah feodal yaitu pemerintahan pusat yang kuat, sedangkan untuk daerah Jawa Tengah Utara dimana keluarga Sanjaya memerintah memiliki sistem pemerintahan federal dan demokratis yaitu terdiri dari atas daerah-daerah regional yang sederajat. Perbedaan yang juga mencolok lainnya adalah candi-candi di Jawa Tengah Selatan bentuknya lebih mewah dan lebih megah dibandingkan dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah Utara.

 Candi di Jawa Timur memiliki cara penataan yang berbeda dibandingkan Jawa Tengah. Candi di Jawa Timur memiliki penataan candi induknya terletak di bagian belakang halaman candi, dan candi-candi perwaranya dan bangunan lainnya terletak di bagian depan sebagai tanda pintu masuk. Dari sini dapat tercermin, sistem pemerintahan dari kerajaan pada saat itu yaitu Kerajaan Singasari, dimana memiliki sistem pemerintahan federal yang terdiri atas negara-negara bagian yang berotonomi penuh, sedangkan pemerintah pusat sebagai kekuasaan tinggi dan sebagai pemersatu daerah-daerah secara keseluruhan.
  
Menurut R. Soekmono (1997), seorang ahli percandian Indonesia menyatakan bahwa bangunan candi di Jawa mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur.
Ciri-ciri khas Langgam Jawa Tengah antara lain berikut:
 > Bentuk bangunan tambun, Atapnya berundak-undak, Puncaknya berbentuk ratna atau stupa, Gawang pintu dan relung berhiaskan Kala-Makara, Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, Letak candi di tengah halaman, Kebanyakan menghadap ke Timur, Kebanyakan terbuat dari batu andesit 
 
Adapun ciri khas candi Langgam Jawa Timur adalah:
>  Bentuk bangunannya ramping; Atapnya merupakan perpaduan tingkatan; Puncaknya berbentuk kubus; Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala Kala; Reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit; Letak candi bagian belakang halaman; Kebanyakan menghadap ke Barat; Kebanyakan terbuat dari bata.

Bentuk bangunan tambun yang dimiliki oleh candi Langgam Jawa Tengah disebabkan oleh adanya bagian lantai kaki candi tempat orang berjalan berkeliling memiliki ruang yang lebar atau yang disebut pradaksinapatha yang lebar, atap candi Langgam Jawa Tengah tidak tinggi, dan atapnya memang bertingkat-tingkat, dan hanya berjumlah 3 tingkat termasuk kemuncaknya. Namun pada candi Langgam Jawa Timur jumlah tingkatan atapnya lebih dari tiga dan berangsur-angsur tiap tingkatan tersebut mengecil hingga puncaknya, begitupun pradaksinapathanya sempit dan hanya muat untuk satu orang saja, oleh karena itu kesan bangunannya berbentuk ramping. (Soekmono 1997: 86).
Perbedaan yang ada antara langgam Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah pada kepala patung Kala [ dewa mitos yang berbentuk raksasa menyeramkan sebagai penjaga dunia bawah tanah dan dalam mitos Bali dianggap sebagai pencipta bumi dan cahaya], dimana biasanya Kala berpasangan dengan Makara [ hewan mitos gabungan antara gajah dan ikan atau disebut gajamina]. Pada candi-candi Langgam Jawa tengah, patung Kala digambarkan tanpa rahang bawah atau tidak ada dagu, tidak mempunyai sepasang cakar, dan memiliki wajah seperti singa dengan arti sebagai simbol wajah kemenangan (kirttimukha). Sedangkan patung Kala di candi-candi Langgam Jawa Timur memiliki perbedaan yaitu mempunyai rahang bawah  atau berdagu, mempunyai sepasang cakar di kanan dan kiri kepalanya yang memilik arti akan mengancam kejahatan yang akan mengganggu kesucian candi [ pada beberapa patung kepala Kala di candi zaman Singhasari dan Majapahit dilengkapi sepasang tanduk dan sepasang taring yang mencuat dari pipi kanan dan kirinya ], juga patung Kala tidak lagi dipasangkan dengan Makara melainkan dengan ular atau naga yang diletakkan di samping kanan kiri patung Kala. Dalam penggambaran relief, Kala disepadankan dengan sepasang kepala kijang yang menghadap ke arah luar. Jika dicermati lebih baik maka patung Kala di candi-candi Langgam Jawa Timur sebagai kepala raksasa dan bukan seperti wajah singa.

Ciri relief di candi-candi Langgam Jawa Tengah adalah:
 Pemahatan relief tinggi; Penggambaran bersifat naturalis; Ketebalan pahatan ½ sampai ¾ dari media (balok batu); Terdapat bidang yang dibiarkan kosong pada panil; Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan kepada pengamat (enface); Cerita acuan berasal dari kesusastraan India; Tema kisah umumnya wiracarita (epos); Cerita dipahatkan lengkap dari adegan awal hingga akhir.

Sedangkan ciri-ciri relief pada candi-candi Langgam Jawa Timur adalah:
  > Pemahatan relief rendah;Penggambaran figur-figur simbolis, tokoh manusia seperti wayang kulit; Dipahatkan hanya pada ¼ ketebalan media (batu/bata); Seluruh panil diisi penuh dengan berbagai hiasan, seperti terdapat ketakutan pada bidang yang kosong; Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan menghadap ke samping; Cerita acuan dari kepustakaan Jawa Kuno, di samping beberapa saduran dari karya sastra India; Tema cerita umumnya romantis (perihal percintaan); Relief cerita bersifat fragmentaris, tidak lengkap hanya episode tertentu saja dari suatu cerita lengkap (Munandar 2003: 28—29).

Menurut hasil pencarian dari sumber-sumber penelitian dan buku terpercaya, menurut saya bangunan candi di Indonesia merupakan suatu bentuk hasil mahakarya bangsa Indonesia pada masa lampau yang merupakan hasil alkulturasi dari agama Hindu-Buddha yang dibawa oleh pedagang India dan China dengan kepercayaan masyarakat setempat yang mayoritas menganut animisme dan dinamisme.
Secara fungsionalis candi-candi tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu ditujukan untuk acara keagamaan atau wujud syukur baik kepada dewa ataupun kepada raja yang telah meninggal. Untuk agama Hindu, candi dibangun lebih bertujuan untuk memuliakan raja / ratu yang telah meninggal yang dianggap sebagai keturunan atau perwujudan dari dewa / dewim sedangkan untuk agama Buddha candi dibangun untuk memuliakan dewa saja yaitu dewa Ciwa atau dewa Buddha.
Dinilai secara bentuk bangunannya, candi Hindu dan Buddha memiliki perbedaan yang cukup mencolok seperti bentuk ujung atap candi Buddha terdapat stupa-stupa sedangkan candi Hindu terdapat ratna [ bukan stupa ]; arca-arca yang dimiliki candi agama Buddha adalah arca  dewa Buddha, sedangkan candi agama Hindu memiliki arca dewa  Ciwa, Ganesha, dan tokoh raja / putri lainnya yang dianggap sebagai titisan dewa [ seperti Loro Jonggrang ]; dan relief yang ada di candi Hindu menggambarkan keadaan alam yang bersifat naturalis, sedangkan di candi Buddha menceritakan tentang kehidupan masyarakat seperti Ramayana, perjalanan hidup Buddha, dsb.
Daerah penyebaran candi-candi di Indonesia disebabkan oleh faktor penyebaran agama Hindu-Buddha yang penyebarannya ke daerah Jambi, Sumatera Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Jawa Timur dan yang paling pesat dan menjadi pusat adalah Jawa Tengah. Hal ini juga difaktorkan oleh adanya pedagang-pedagang asing dari India dan Cina yang berkunjung dan melakukan penyebaran agama.
Beberapa daerah di Indonesia yang dulunya dibawah kekuasaan kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha atau tidak, di daerah tersebut ada yang tidak memiliki peninggalan bangunan candi sama sekali. Untuk daerah Sumatera Selatan tidak ada peninggalan candi karena pada masa kerajaan Sriwijaya tidak ada konsep ’raja merupakan keturunan dewa’ sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan candi. Untuk wilayah Kalimantan tidak adanya candi karena pada saat Kerajaan Kutai yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha pertama di Indonesia memiliki bangunan bernama Waprakesmara yaitu tempat suci untuk memuja dewa Syiwa, sehingga fungsi candi hampir sama dengan bangunan tersebut namun berbeda rupa. Untuk wilayah Ternate, tidak ada pembangunan candi karena penyebaran ajaran agama Hindu-Buddha belum mencapai sana dan pada saat itu daerah tersebut sudah didatangi oleh negara asing yaitu Portugis dan Spanyol yang membawa ajaran agama Katholik. Tak lama disusul adanya kerajaan Ternate yang memeluk agama Islam sehingga tidak ada pembangunan candi sama sekali di Ternate. Untuk daerah NTT, juga penyebaran agama Hindu-Buddha belum mencapai daerah tersebut dan tidak lama kemudian didatangi oleh tentara dari Portugis yang datang dari Ternate dimana membawa ajaran agama Katholik.
Untuk daerah Bali, penyebaran candi disebabkan oleh perpindahan penduduk dari Kerajaan Majapahit yang menganut agama Hindu di Jawa Timur ke Pulau Bali. Hal ini disebabkan oleh runtuhnya kerajaan Majapahit dan jatuh ke Kerajaan Demak yang memeluk agama Islam. Karena ingin mempertahankan agamanya dan tidak mau berganti agama, maka penduduk dan pendeta dari kerajaan Majapahit berbondong-bondong ke Pulau Bali.
Sehingga penyebaran candi yang paling banyak adalah di Jawa Tengah dimana merupakan basis penyebaran ajaran agama Hindu-Buddha dan juga pengaruh pedagang Cina yang berkunjung ke Jawa Tengah yang beberapa waktu lalu telah mengunjungi Sumatera dimana memahat candi di sana.

 Daftar Pustaka

http://candi.pnri.go.id/sumatra/index.htm
Munandar, Agus Aris, 2003, Aksamala: Bunga Rampai Karya Penelitian. Bogor: Akademia.
2004, “Menggapai Titik Suci: Interpretasi Semiotika Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno”, dalam dalam T.Christomy & Untung Yuwono (Penyunting), Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Halaman 161—180.
Soekmono, R., 1969, Gurah, The Link Between The Central and The East-Javanese Arts. Bulletin of the Archaeological Institute of the Republic of Indonesia No.6. Djakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.
1986, “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia”, dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 228—246.
1997, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.
Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Wirjosuparto, Sutjipto, 1964, Glimpses of Cultural History of Indonesia. Djakarta: Indira.
 






Minggu, 24 Oktober 2010

China Funeral Customs in Indonesia


In worldwide, many people do funeral to respect their beloved who recently died or to respect their ancestors. Preparing the tomb, the funeral ceremony, gathering all of relatives in order to give their final respect to the deceased or to their ancestors, and these become customs in society. In Indonesia, there are so many cultures and customs which also do funeral for their beloved people. For examples, Javanese people do the funeral by burying funeral and because of mostly Javanese-heritage people’s religion is Islam (Muslim), they do the funeral by burying and the deceased’s just wear one piece of cloth which called as “pocong”. Other culture in Indonesia is Balinese people who do the funeral by cremation way which called “ngaben”. There are also Chinese-heritage people in Indonesia who do funeral by following the Chinese funeral customs. There are two kinds of Chinese funeral custom: burying funeral and cremation funeral. In Chinese customs, funeral becomes one most important custom for Chinese people caused by:  philosophy background, society belief, and social demographic.

The first cause is caused of philosophy background of Chinese people. The famous legend Chinese philosopher, Confucius, who really became the fundamental philosophy in Chinese people, supported those customs. He taught about respecting other people especially social superior including fathers and husbands as leaders of the family also in social hierarchy and to the leaders, and ancestor worship. These main points became main point of his teachings. Confucius taught about those main points in order to getting personal virtue and paying respect to ancestors naturally lead to political stability. Confucius’s famous quotes is : ”To put the world in order, we must first put the nation in order; to put the nation in order, we must put the family in order; to put the family in order, we must cultivate our personal life; and to cultivate our personal life, we must first set our hearts right.” (Confucius - China's most famous teacher, philosopher, and political theorist, 551-479 BC.

Chinese people’s society belief is also the cause of Chinese funeral customs. Most of Chinese people do not have religion. From research data, 96% are non-religion people but still believe in God, 3% are Christian and the rest is atheist. They do believe in Taoism belief in their daily live. For Chinese people, the family who’s deceased must do funeral ceremony for their one’s deceased, because the funeral is the symbolize for saying the last goodbye to the body of deceased and give the last honor respect to the deceased. Taoists believe that death is not the end of life. When death occurs, they believed the deceased will continue life into another phase, the phase of the soul. That is why Taoists perform rituals for the dead. It uses to guide the wandering soul to its new world. The family and relatives of deceased have to offer prayers and acts of penance for the dead. The livings believe that the ancestor's soul is always watching over them. They also did this customs in order to avoid ill fortune and disaster because not doing the funeral ceremony properly.

The spreading of Chinese people also caused the Chinese funeral customs. Many Chinese people moved from their homeland China because they were so misery in their homeland. Many wars, not stabilize politics, didn’t have any secure in their homes. Finally they got one lifetime chance to move to brand new area and got to take the risks, life or death. In early 1800, so many Chinese people came to Indonesia by ship and now have been growing and spread all over Indonesia; most of them stay in Java Island. Total population of Chinese-heritage Indonesia people is about 6 million of 222 million total Indonesian people in 2008. Because of so many Chinese heritage lives in Indonesia and believe in Confucianism teachings, these Chinese-heritage people still keep doing funeral customs. There are two kinds of Chinese funeral: burying funeral or cremation funeral. Burying funeral is a way to funeral the deceased body by burry the body under the dirt inside a tomb, usually using Chinese special tomb called bong pai on the graveyard. In other hand, cremation funeral is a way to funeral the deceased body by burn the body into ashes, and the ashes will be keep in a jar.

Some causes caused the Chinese funeral customs which are the philosophy background, society belief, and social demographic. Those customs have positive effects and that’s why most Chinese people keep doing the customs. In other hand, there are some negative effects from this tradition, which are don’t have any choices but straight rules and really take a great cost and efforts.
From all those customs above, there are some negatives effects of it. The first effect is people don’t have any choices to do but people must to follow the straight tradition rules. The rule clearly says that we must respect social superior like our parents, ancestors, and older generation because without them we couldn’t be standing right here or was born. The process of funeral is quite complicated. When doing funeral for someone who is social superior, for example for our grandparents whose aged 80’s above, we must prepare the decoration for the ceremony in “red”, because it means that they lived with long life and reflected our feeling about it (sorrow of losing him/her and happiness of they lived with long life). At the beginning of the ceremony, to show their respect, children and grandchildren of the deceased must entering the ceremony by crawling and bowing nine times in front of the altar.  The Chinese people must do the burying or cremation in good day which can be found in Chinese calendar year.

Another effect of Chinese funeral customs is the burying funeral also takes a great deal of cost and efforts. If the family picked burying process, the family must buy a graveyard first with a good location. The location of the grave must in a fixed land, not near in river or water which can make it wet, etc. For the coffin, it should be the special Chinese tomb (bong pai) and must order it first and take a time almost 2 weeks for the production. The shape of the bong pai must be in round shape with three humps. The centre of humps which is the grave stone must show the deceased’s name and also the family’s member names. Carving on the stone of bong pai is the way how to write the family member names. The gold color represents the name of family member who have already died and the red color represents the name of family who still alive. In front of the humps, there is a place like a table where people can give their tribute for the deceased like fruits, cakes, teas, etc. The head of the deceased is placed on the back of the humps. The single bong pai is for the unmarried people or single people and the double bong pai, which much bigger than the single bong pai, is for the marriage couple or husband and wife. If we look from the humps, where we look the tomb from the head first, the position for the marriage couple is the husband is on the right side and the wife is on the left side. Last but not least, the coffin must locate with good feng-shui, so the soul can rest in peace. If not, it could affect the family of the deceased. They could get ill fortune or disaster.

We can see that there are several causes and effects of the Chinese funeral customs. The causes of the tradition are: historical background, society belief, and social demographic. In other hand, the effects are: don’t have any choices but follow the complicated rules take a great cost and efforts of the burying funeral. We can reduce the effects by we should open minded but still basic on the customs. The customs is important to the livings and the death one, but these tradition are done are not as important as the meaning in first place as the how the way the funeral done. If burying funeral have so complicated rules, the family of deceased can do the funeral by the cremation way. The cremation funeral takes cheaper cost, take less effort, and also not take so many lands which can be use more useful to the livings. The art of making the bong pai is also become a historical culture art. This art is passed from generations to generations.

Sabtu, 23 Oktober 2010

We SHARE because We CARE?

Hello guys,

This is the first time I use Blog. I think in the first place, why people use Blogging. They said that because we can share our thoughts, our opinions, and let other people read it and respond it with comment. Or some people said that it's for our e-journal or e-diary. Paperless, no effect Global Warming, and so on, and so on.

In my opinion, people just want to Share things what they had experienced, or their thought about something. And with this Blog, their opinions can be read and 'heard' by other people. So people can learned something with different perspectives. Or some people just want to be 'noticed', because in every person mind, they had Self-Narcissism or 'Egoism' over than 60% and it can grow more.

But Using this kind of thing should be careful. Don't write or post something offensive, without real facts, or insulting others, or just accusing no reason. Because what you wrote was published, and if someone felt offended, they can sue you. That's the easy and hard thing about use this blog, with a comparison with traditional diary. Traditional diary, it's a secret, just you can read it, and no one can read it.

Of course I will share about what I experienced, or my opinions. But I SHARE something, not truly because I CARE, because I want to what to know what other people think about my perspective. Why did he agree with my opinion, or why she thought differently. So I can get more consideration and perspectives, and also other people can get some new idea and knowledges when read it.

No more, no Less. Last but Not Least, thanks for reading my first post. I'm looking forward to publish my next blog. If there any mistakes or diffuclties, i'm personally apologize [coz it's my first writing blog]. Thanks =)